Bicara tentang sejarah pulau Jawa sama halnya dengan membicarakan sejarah panjang umat manusia di muka bumi. Setidaknya berdasarkan mitos dan legenda, baik yang tercatat maupun dari lisan penduduk yang tinggal d
i pulau Jawa yang diceritakan secara turun temurun dari jaman nenek moyang. Masih sulit untuk dapat diterima nalar, dan dijabarkan dengan logika sehingga mungkin tidak mudah untuk memilah dan menentukan yang benar dan yang salah. Karena memang demikianlah cara legenda bercerita, demikian adanya. Bila anda suka, tak perlu berpanjang lebar lagi, dan silakan menikmati.
Pulau terbesar dengan penduduknya paling banyak di seluruh Indonesia ini, tidak menyangka, kalau dahulunya adalah pulau terkecil dan terpecah-belah oleh persilangan laut antara utara dan selatan. Kisah dipersatukannya seluruh pulau yang terdapat di berbagai pulau Jawa, akibat dari kesaktian yang dimiliki oleh Brahmana Agung bernama Shang Hyang Dewa. Konon dengan kesaktian beliau, pulau itu ditarik satu persatu menjadi pulau terbesar dan dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo. Semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya. Masa itu pulau Jawa disebut dengan nama Mokso Seleman (zaman para lelembut). Namun setelah keturunan dari Shang Hyang Nurasa menduduki bumi Jawa (Shang Hyang Dewa) pulau itu disebut dengan nama bumi pengurip (bumi yang di hidupkan). Shang Hyang Dewa akhirnya moksa di puncak Gunung Tidar, setelah beliau menyatukan berbagai bangsa lelembut untuk menuju jalan Adil (Kebenaran), dan dari keturunannya.
Terlahir pula para Shang Hyang Agung, seperti Shang Hyang Citra Suma, Shyang Hyang Dinata Dewa, Shang Hyang Panca Dria, yang akhirnya dari merekalah sebuah titisan atau wasilah turun-temurun menjadi kerajaan teragung yang absolut. Baru diabad ke 12, pulau Jawa diperluas dengan tiga aliran yang berbeda, yaitu dengan adanya ajaran Hindu, mokso Jawi dan Islam. Akhir dari ketiga aliran tersebut nantinya menjadi suatu perlambangan dari perwatakan penduduk pulau Jawa hingga sekarang ini. Dalam perluasan arti ketiga diatas, mencerminkan sebuah kehidupan bermasyarakat gemah ripah loh jinawi. Konon ajaran ini hanya ada di pulau Jawa dan seterusnya menyebar ke seluruh pelosok yang ada di Indonesia, seperti ajaran Hindu misalnya, ilmu yang diajarkan oleh para Shanghyang Dewa, ilmu, sebagai aji rrasa manunggaling agung. Lewat bait sansekerta Yunani yang mengupas di dalamnya, kebenaran, keadilan, kejujuran dan memahami sifat alam. Ilmu ini akhirnya diturunkan oleh bapaknya para dewa. Raden Nurasa kepada Nabiyullah Khidir a.s. dan di zaman Wali Songo nanti, ilmu ini dipegang dan menjadi lambang dari sifat kependudukan masyarakat Jawa oleh tiga tokoh Waliyullah, yaitu Sunan KaliJaga, Mbah Cakra Buana dan Khanjeng Syekh Siti Jenar. Moksa Jawi sendiri, sebuah ilmu yang mengupas tentang kedigdayaan ilmu yang bersumber dari raj lelembut, bernama raja lautan. ini sangat berperan dan menjadi salah satu perwatakan masyarakat Jawa. Konon ajaran yang tergabungn di dalamnya mengajarkan arti tirakat, mencegah hawa nafsu dan memahami makna rohani, simbol dari ajaran ilmu ini digambarkan sebagai bentuk keris. Keris menjadi suatu perlambang dari ajaran orang Jawa, bermula dari seorang Empu, bernama Ki Supo Mandragini. Beliau salah satu dari Khanjeng Sunan Ampel Denta yang diberi tugas untuk membuat sebilah keris. Namun rupanya, pemahaman dari sang guru dan murid ini saling berseberangan, disisi lain Sunan Ampel menginginkan sebuah pusaka berupa sebilah pedang sebagai perlambang dari makna Islam. Namun ketidaktahuan Ki Supo Mandragini sendiri, akhirnya beliau membuat sebilah keris berluk 9. Keris tersebut menjadi penengah antara ajaran Islam dan Hindu bagi orang Jawa, dengan sebutan Islam Kejawen, dan keris pembuatan Ki Supo diberi nama Kyai Sengkelat.
Dari kedua aliran diatas, Islam telah ada di pulau Jawa sejak abad ke 9. Ajaran ini dibawa dari kota Misri oleh seorang Waliyullah Kamil Syekh Sanusi dan muridnya Muhammad Al Bakhry, dan baru mansyhur tentang ajaran Islam di pulau Jawa pada abad 13 dan 14 atau zamannya para Wali Songo. Pembedaran dari keunikan yang terdapat di pulau Jawa pada masa itu, 300 tahun sebelum Wali Songo mendudukinya, para Shanghyang maupun bangsa lelembut seleman telah mengetahui lewat sasmita gaib yang mereka terima, bahwa sebentar lagi pulau Jawa akan dibanjiri para pemimpin makhluk dari berbagai negara. Mereka dari seluruh alam berkumpul, diskusi di puncak Gunung Ciremai, pada masa itu mereka mufakat untuk mengabdi dan membantu, apabila para Waliyullah telah menduduki pulau Jawa. Namun tentunya tidak semua dari mereka setuju, sehingga perpecahan dari dua kubu yang berseberang jalan itu dinamakan Getas Kinatas (terpecahnya satu keluarga atau satu keturunan). Nanti pada akhirnya tiba, dari Shanghyang Rowis Renggo Jenggala, akan menurunkan beberapa keturunan Saktineng Paku Jawa (orang-orang sakti yang menjadi penguasa pulau Jawa) diantaranya :
“Arya Bengah ” yang menurunkan para putera Majapahit dan keturunannya sampai putera Mataram.
“Ciung Wanara” yang menurunkan Lutung Kasarung hingga sampai ke silsilah Prabu Agung Galuh atau yang dikenal dengan nama Prabu Munding Wangi atau Prabu Siliwangi.
“Nyi Mas Ratu Ayu Maharaja Sakti” menurunkan beberapa keturunan berbagai alam diantaranya “Ratu Palaga Inggris, seorang puteri cantik dari bangsa manusia, yang akhirnya dikawin oleh Prabu Siliwangi.
“Kerta Jasa” maharaja sakti.
“Sang Kowelan” salah satu anak dari Ratu Palaga Inggris yang berjenis bangsa lelembut, dari beliau pula ucuk umum dan Ratu Kidul dihasilkan.
Dari “Syekh Sanusi” melahirkan ratusan Waliyullah kondang, diantaranya para Wali Irak, Yaman, Mesir, Turky, dan para Wali Jawa.
Untuk yang berseberangan atau getas kinatas , sebagian dari mereka memilih ngahyang (raib) dan tak pernah muncul lagi di permukaan bumi dan sebagian lagi mereka mengabdi dengan lewat menjaga semua alam di pulau Jawa. Diantara yang mengabdi adalah :
Sih Pohaci, beliau menjaga awan dan langit.
Sih Parjampi, beliau selalu menjaga bumi dan bertempat pada lapisan bumi nomor dua.
Sang Sontong, menjaga semua gunung pulau Jawa.
Sang Waluhun, menjaga pantai utara dan selatan.
Sih Walakat, menjaga seluruh hutan dan pepohonan.
Sangkala Brahmana, menjaga Bumi Cirebon.
Sangkala Wisesa, menjaga bumi Mataram.
Janggala Putih, menjaga bumi Bogor.
Sang Lenggang Lumenggang Gajah, menjaga bumi Jakarta.
Sang Seda Hening, menjaga bumi Banten.
Dan pengguron atau perguruan para purwa, Wali Jawa, diantaranya :
Perguruan, penatas angin Pekalongan
Perguruan, Agung Waliyullah Ki Bagus Santo Pekalongan.
Perguruan, Pandarang Semarang.
Perguruan, Jambu Karang Purwokerto.
Perguruan, Daon Lumbung Cilacap, dan lain-lain
Begitulah sepenggal kisah Purwa Jawa.
Pulau terbesar dengan penduduknya paling banyak di seluruh Indonesia ini, tidak menyangka, kalau dahulunya adalah pulau terkecil dan terpecah-belah oleh persilangan laut antara utara dan selatan. Kisah dipersatukannya seluruh pulau yang terdapat di berbagai pulau Jawa, akibat dari kesaktian yang dimiliki oleh Brahmana Agung bernama Shang Hyang Dewa. Konon dengan kesaktian beliau, pulau itu ditarik satu persatu menjadi pulau terbesar dan dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo. Semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya. Masa itu pulau Jawa disebut dengan nama Mokso Seleman (zaman para lelembut). Namun setelah keturunan dari Shang Hyang Nurasa menduduki bumi Jawa (Shang Hyang Dewa) pulau itu disebut dengan nama bumi pengurip (bumi yang di hidupkan). Shang Hyang Dewa akhirnya moksa di puncak Gunung Tidar, setelah beliau menyatukan berbagai bangsa lelembut untuk menuju jalan Adil (Kebenaran), dan dari keturunannya.
Terlahir pula para Shang Hyang Agung, seperti Shang Hyang Citra Suma, Shyang Hyang Dinata Dewa, Shang Hyang Panca Dria, yang akhirnya dari merekalah sebuah titisan atau wasilah turun-temurun menjadi kerajaan teragung yang absolut. Baru diabad ke 12, pulau Jawa diperluas dengan tiga aliran yang berbeda, yaitu dengan adanya ajaran Hindu, mokso Jawi dan Islam. Akhir dari ketiga aliran tersebut nantinya menjadi suatu perlambangan dari perwatakan penduduk pulau Jawa hingga sekarang ini. Dalam perluasan arti ketiga diatas, mencerminkan sebuah kehidupan bermasyarakat gemah ripah loh jinawi. Konon ajaran ini hanya ada di pulau Jawa dan seterusnya menyebar ke seluruh pelosok yang ada di Indonesia, seperti ajaran Hindu misalnya, ilmu yang diajarkan oleh para Shanghyang Dewa, ilmu, sebagai aji rrasa manunggaling agung. Lewat bait sansekerta Yunani yang mengupas di dalamnya, kebenaran, keadilan, kejujuran dan memahami sifat alam. Ilmu ini akhirnya diturunkan oleh bapaknya para dewa. Raden Nurasa kepada Nabiyullah Khidir a.s. dan di zaman Wali Songo nanti, ilmu ini dipegang dan menjadi lambang dari sifat kependudukan masyarakat Jawa oleh tiga tokoh Waliyullah, yaitu Sunan KaliJaga, Mbah Cakra Buana dan Khanjeng Syekh Siti Jenar. Moksa Jawi sendiri, sebuah ilmu yang mengupas tentang kedigdayaan ilmu yang bersumber dari raj lelembut, bernama raja lautan. ini sangat berperan dan menjadi salah satu perwatakan masyarakat Jawa. Konon ajaran yang tergabungn di dalamnya mengajarkan arti tirakat, mencegah hawa nafsu dan memahami makna rohani, simbol dari ajaran ilmu ini digambarkan sebagai bentuk keris. Keris menjadi suatu perlambang dari ajaran orang Jawa, bermula dari seorang Empu, bernama Ki Supo Mandragini. Beliau salah satu dari Khanjeng Sunan Ampel Denta yang diberi tugas untuk membuat sebilah keris. Namun rupanya, pemahaman dari sang guru dan murid ini saling berseberangan, disisi lain Sunan Ampel menginginkan sebuah pusaka berupa sebilah pedang sebagai perlambang dari makna Islam. Namun ketidaktahuan Ki Supo Mandragini sendiri, akhirnya beliau membuat sebilah keris berluk 9. Keris tersebut menjadi penengah antara ajaran Islam dan Hindu bagi orang Jawa, dengan sebutan Islam Kejawen, dan keris pembuatan Ki Supo diberi nama Kyai Sengkelat.
Dari kedua aliran diatas, Islam telah ada di pulau Jawa sejak abad ke 9. Ajaran ini dibawa dari kota Misri oleh seorang Waliyullah Kamil Syekh Sanusi dan muridnya Muhammad Al Bakhry, dan baru mansyhur tentang ajaran Islam di pulau Jawa pada abad 13 dan 14 atau zamannya para Wali Songo. Pembedaran dari keunikan yang terdapat di pulau Jawa pada masa itu, 300 tahun sebelum Wali Songo mendudukinya, para Shanghyang maupun bangsa lelembut seleman telah mengetahui lewat sasmita gaib yang mereka terima, bahwa sebentar lagi pulau Jawa akan dibanjiri para pemimpin makhluk dari berbagai negara. Mereka dari seluruh alam berkumpul, diskusi di puncak Gunung Ciremai, pada masa itu mereka mufakat untuk mengabdi dan membantu, apabila para Waliyullah telah menduduki pulau Jawa. Namun tentunya tidak semua dari mereka setuju, sehingga perpecahan dari dua kubu yang berseberang jalan itu dinamakan Getas Kinatas (terpecahnya satu keluarga atau satu keturunan). Nanti pada akhirnya tiba, dari Shanghyang Rowis Renggo Jenggala, akan menurunkan beberapa keturunan Saktineng Paku Jawa (orang-orang sakti yang menjadi penguasa pulau Jawa) diantaranya :
“Arya Bengah ” yang menurunkan para putera Majapahit dan keturunannya sampai putera Mataram.
“Ciung Wanara” yang menurunkan Lutung Kasarung hingga sampai ke silsilah Prabu Agung Galuh atau yang dikenal dengan nama Prabu Munding Wangi atau Prabu Siliwangi.
“Nyi Mas Ratu Ayu Maharaja Sakti” menurunkan beberapa keturunan berbagai alam diantaranya “Ratu Palaga Inggris, seorang puteri cantik dari bangsa manusia, yang akhirnya dikawin oleh Prabu Siliwangi.
“Kerta Jasa” maharaja sakti.
“Sang Kowelan” salah satu anak dari Ratu Palaga Inggris yang berjenis bangsa lelembut, dari beliau pula ucuk umum dan Ratu Kidul dihasilkan.
Dari “Syekh Sanusi” melahirkan ratusan Waliyullah kondang, diantaranya para Wali Irak, Yaman, Mesir, Turky, dan para Wali Jawa.
Untuk yang berseberangan atau getas kinatas , sebagian dari mereka memilih ngahyang (raib) dan tak pernah muncul lagi di permukaan bumi dan sebagian lagi mereka mengabdi dengan lewat menjaga semua alam di pulau Jawa. Diantara yang mengabdi adalah :
Sih Pohaci, beliau menjaga awan dan langit.
Sih Parjampi, beliau selalu menjaga bumi dan bertempat pada lapisan bumi nomor dua.
Sang Sontong, menjaga semua gunung pulau Jawa.
Sang Waluhun, menjaga pantai utara dan selatan.
Sih Walakat, menjaga seluruh hutan dan pepohonan.
Sangkala Brahmana, menjaga Bumi Cirebon.
Sangkala Wisesa, menjaga bumi Mataram.
Janggala Putih, menjaga bumi Bogor.
Sang Lenggang Lumenggang Gajah, menjaga bumi Jakarta.
Sang Seda Hening, menjaga bumi Banten.
Dan pengguron atau perguruan para purwa, Wali Jawa, diantaranya :
Perguruan, penatas angin Pekalongan
Perguruan, Agung Waliyullah Ki Bagus Santo Pekalongan.
Perguruan, Pandarang Semarang.
Perguruan, Jambu Karang Purwokerto.
Perguruan, Daon Lumbung Cilacap, dan lain-lain
Begitulah sepenggal kisah Purwa Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar